-->

OPINI: Menuju Pelayanan Listrik Satu Pintu

Problem pelayanan pelanggan PT.PLN (Persero) yang terus menuai kritik, bahkan dicaci dan dimaki habis-habisan, sepertinya akan segera menemukan solusi, dengan akan diterapkannya Program Pelayanan Satu Pintu di seluruh Unit Pelayanan PLN, khusus untuk permintaan penyambungan daya sampai dengan daya 2200 VA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bahkan telah 'menjustifikasi' program tersebut secara legal formal melalui Peraturan Menteri ESDM No.010 Tahun 2016, yang merupakan perubahan atas Permen No. 05 Tahun 2014.

Misi utama dari penerapan program Pelayanan Satu Pintu ini tidak lain adalah untuk memberi kemudahan kepada calon pelanggan PLN. Melalui pelayanan satu pintu tersebut, masyarakat calon konsumen kelistrikan akan memperoleh pelayanan secara cepat dan terpadu, mulai dari pekerjaan pemasangan dan pemeriksaan instalasi listrik dan permohonan pasang baru, semua dilakukan melalui system pelayanan satu pintu, di masing-masing Unit Pelayanan PT.PLN di seluruh Indonesia.

Program pelayanan Satu pintu yang semula digagas oleh Direksi PT.PLN (Persero) kemudian mendapat keputusan persetujuan Menteri ESDM, sungguh menjadi angin segar bagi masyarakat calon konsumen kelistrikan, yang selama ini terombang ambing dan tidak pernah memperoleh standar pelayanan yang pasti, khususnya dalam hal kepastian harga, kepastian waktu dan kepastian tempat.

Kepastian harga misalnya, masyarakat calon konsumen kelistrikan untuk semua lapisan, hampir tidak pernah tahu, berapa sesungguhnya besaran biaya pemasangan dan pekerjaan instalasi listrik. Gubernur Sulsel misalnya memang pernah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tahun 2009 lalu tentang standar perhitungan biaya pemasangan dan pekerjaan instalasi listrik khusus berlaku di Sulsel, namun itupun tidak tersosialisasi maksimal dan masyarakat sendiri hampir tidak mengerti dan bahkan tidak mau mengerti, karena rumusan dan istilahnya memang sangat teknis. Akhirnya masyarakat kembali lagi ke pemahaman dasar, yakni hanya dengan satu kata yaitu berjuta-juta.

Selanjutnya soal kepastian waktu, sejauh ini masih terus menjadi momok yang sangat menakutkan bagi calon konsumen kelistrikan di Tanah Air. Bagaimana tidak, sebab kadang-kadang sudah mengeluarkan biaya besar, tetapi buntutnya masyarakat tetap dibuat menunggu terkatung-katung tanpa ada kata pasti, berapa lama instalasi listrik dikerjakan dan kapan rumah calon pelanggan tersebut menyala.

PT.PLN sendiri sebenarnya mempunyai flowchart dan standar waktu pelayanan yakni 5 (lima) hari kerja, rumah calon pelanggan wajib menyala. Namun realitasnya, semua itu hanya wacana semata, sebab masyarakat calon pelanggan PLN kadang kala masih harus menunggu sampai berbulan-bulan lamanya. Lantas dimanakah letak perkara yang membuat masalah waktu pelayanan ini menjadi ribet, maka jawabnya ada pada oknum-oknum instalatur, oknum-oknum pemeriksa lembaga SLO dengan oknum-oknum karyawan PLN sendiri, mulai dari pegawai organik sampai pada karyawan outsourcing, berkolusi memporak porandakan mekanisme demi mengedepankan calon-calon pelanggan yang mereka urusi. Akibatnya, permohonan calon pelanggan yang tidak melalui perantara alias pengurus bin calo, maka berkasnya akan berjalan seperti kura-kura. Malah kadang-kadang raib entah kemana. Ironis memang, tapi ini adalah fakta dan bukan gosip.

Demikian pula dengan masalah kepastian tampat. Sejauh ini masyarakat pada umum hanya tahu bahwa urusan listrik, semua menjadi urusan Kantor PLN, padahal Kantor Pelayanan PLN jelas hanya melayani kebutuhan masyarakat sampai pada batasan Kwh meter. Sedangkan urusan ke dalam rumah pelanggan, berupa pemasangan, perbaikan atau perubahan instalasi listrik, menjadi kewenangan Badan Usaha Jasa Penunjang Ketenagalistrikan atau lebih dikenal dengan sebutan kontraktor listrik.

Problem yang terjadi selama ini, masyarakat pada umumnya hampir tidak pernah memperoleh kepastian tempat untuk segala urusan yang berhubungan dengan instalasi listrik. Akhirnya, transaksi untuk pekerjaan instalasi listrik dilakukan secara tidak karuan. Dan biang dari kesemrawutan ini tidak lain adalah oknum-oknum instalatur sendiri yang dengan sengaja memberi ruang kepada masyarakat untuk melakukan traksaksi secara serampangan dimana saja, mulai dari warung kopi sampai ke warung pojok, bahkan di pinggir jalan dan di bawah pohon. Maksudnya jelas, agar nilai transaksi pekerjaan bisa dipermainkan seenak kepalanya. Ini betul-betul amburadul.

Tapi celakanya, jika ada masyarakat calon pelanggan yang tertipu oleh bujuk rayu oknum-oknum calo pengurusan listrik berkedok instalatur, atau instalatur yang merangkap sebagai calo pengurusan listrik yang telah mengambil uang calon pelanggan terus menghilang bak ditelan bumi, semuanya kemudian datang mengadu ke Kantor PLN, karena memang, masyarakat tak tahu harus mengadu kemana.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah program Pelayanan Satu Pintu yang digagas dan segera di terapkan oleh PLN, dapat menjadi solusi atas persoalan-persoalan klasik sebagaimana diuraikan di atas, maka jawabannya, Pasti Bisa, sepanjang system dan mekanisme yang diterapkan dapat mengatur dan mengendalikan pelaku-pelaku yang selama ini terlibat langsung dalam urusan kelistrikan, mulai dari oknum-oknum karyawan PLN sendiri yang merangkap sebagai pengurus, oknum-oknum instalatur resmi dan oknum-oknum calo yang mengaku instalatur, yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Modus operandi oknum-oknum ini tidak akan pernah berhenti menggeliat, jika tidak dipaksakan untuk mengikuti sebuah mekanisme yang dikelola secara sistematis dan independent.

Persoalannya sekarang adalah PT.PLN sendiri yang menggagas progam Pelayanan Satu Pintu sejak Desember 2015 lalu, tampaknya tidak siap. Terbukti, persetujuan Menteri ESDM sekaligus meminta agar program ini diterapkan mulai 1 Januari 2016, ternyata sampai dengan empat bulan berlalu, pihak PT.PLN masih sibuk mencari formula dan mekanisme.

Ini sungguh lucu dan memilukan. Bagaimana mungkin Perusahaan Milik Negara sekelas PT.PLN (Persero) mengajukan gagasan dan program pelayanan ke pemerintah tanpa mempersiapkan dan mematangkan konsep terlebih dahulu. Ibaratnya PLN minta izin ke Menteri untuk mengoperasikan kereta api. Tapi celakanya, begitu Menteri memberikan persetujuan, jangankan beroperasi, bahkan rel pun, PLN belum punya.

Bukti kongkret ketidaksiapan PLN adalah, dengan menyodorkan 3 (tiga) sistem dan mekanisme pelayanan satu pintu kepada publik. Ini adalah sebuah situasi yang semakin memperkeruh keadaan.
Lihat saja sistem pertama yang disodorkan adalah Sistem Go-Jek. Istilahnya saja sudah nyontek.

Sedangkan sisten kedua yakni Sistem Penugasan Dari PLN kepada instalastur untuk mengerjakan pemasangan instalasi rumah pelanggan juga terancam bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dengan tegas telah mengatur batasan kewenangan antara Usaha Jasa Penyedia (PT.PLN) dan Usaha Jasa Penunjang (BUJPK), dan ketiga adalah Sistem Pelanggan Memilih Sendiri.

Dari ketiga sistem yang dipersiapkan, yang paling celaka adalah system ketiga, sebab sistem inilah sesungguhnya yang berjalan dan diterapkan selama ini, dan telah menjadi sumber petaka dan biang kesemrawutan. Hanya casingnya saja yang dipoles untuk menjadi metode pelayanan satu pintu.

Lantas sekarang apa yang dibisa diharap dari ketiga sistem yang disodorkan oleh PT.PLN, Kita tunggu saja.

  • Penulis: YUSUF ADAM ISMAIL, SH (Pemerhati Kelistrikan)

0 Response to "OPINI: Menuju Pelayanan Listrik Satu Pintu"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel